KEPEMIMPINAN PASCA RASULULLAH SAWW
Ustadz Husein Alkaff
Ustadz Husein Alkaff
Sebagaimana
sudah maklum bahwa dalam pandangan Islam, manusia diciptakan untuk
menyembah dan beribadah kepada Allah Swt. Dalam penjelasan yang lain,
bahwa manusia di dunia yang fana ini pada hakikatnya bergerak menuju
Allah Swt. (kesempurnaan yang mutlak). Dalam pada itu, Islam sebagai
agama yang mencakup tiga sisi yang inheren, aqidah, syariat dan akhlak,
disiapkan untuk membantu manusia agar dapat menyembah Allah Swt dengan
benar, dan untuk memberikan bimbingan kepada manusia ke jalan menuju
Allah Swt. yang paling mudah dan tepat sehingga sampai kepada Al-Haqq
(Allah) dengan Al-Haqq (ajaran Allah).
Kemudian
dalam pandangan Islam juga, bahwa kedaulatan dan kekuasaan secara
mutlak hanya milik Allah Swt. Selain sebagai Al-Khalik (Pencipta), Allah
Swt. adalah Al-Rabb (Pemelihara) dan Al-Hakim (Penguasa) atas seluruh
alam raya. Allah Swt. sebagai sumber wujud segala sesuatu, dan
kepada-Nya segala sesuatu harus tunduk dan pasrah. Hal itu merupakan
keyakinan yang paling prinsipil dalam Islam dan menjadi sebuah pandangan
hidup kaum Muslimin (pandangan dunia Tauhid). Prinsip ini biasa disebut
dengan Tauhid (monoteis). Doktrin tauhid dalam Islam tidak sekedar
meyakini Ke-maha-tunggalan dan Ke-maha-esaan Wujud Allah Swt. saja,
tetapi Ke-maha-tunggalan dan Ke-maha-esaan-Nya meliputi Ketuhanan
(Ilahiyyah), u'budiyyah (Dzat yang berhak disembah), fi'liyyah
(perbuatan), shifatiyyah (sifat), dan tasyri'iyyah (yang mempunyai
otoritas secara mutlak untuk membuat undang-undang, memerintah dan
melarang).
Ringkasnya,
kepemimpinan ( baca: kekuasaan ) dalam Islam tidak sama dengan sistem
kepemimpinan yang kita kenal selama ini. Imam Khomeini ra. dalam bukunya
Al-Hukumah Al-Islamiyah berkata, " Kepemimpinan Islami tidak sama
dengan sistem-sistem kepemimpinan yang ada sekarang ini." Kemudian
beliau melanjutkan, "Sistem kepemimpinan Islami adalah kepemimpinan
konstitusional, dengan pengertian para pemimpinnya terikat dengan
undang-undang dan hukum yang termaktub dalam Alquran dan Sunnah. Oleh
karena itu, kepemimpinan Islami adalah kepemimpinan konstitusional Ilahi
(teokrasi)." (Al-Hukumah Al-Islamiyah 41-42).
Menarik
bahwa dalam Alquran disebutkan salah satu asma' Allah adalah Mawla' atau
Wali, yang diambil dari kata wilayah. Maksudnya adalah Allah Swt. yang
memimpin dan mengatur segala urusan manusia baik di dunia ataupun di
akhirat (Lihat Allamah Thabathaba'i Al-Mizan 6 hal. 13). Kepemimpinan
Allah Swt. tidak hanya berkaitan dengan alam raya (wilayah takwiniyyah)
saja, tetapi meliputi kekuasaan atas hukum dan undang-undang yang
mengatur urusan-urusan manusia (wilayah tasyri'iyyah). Oleh karena
kepemimpinan dan kekuasaan yang mutlak ada pada Allah Swt., maka manusia
sebagai ciptaan-Nya tidak mempunyai wewenang untuk memimpin kecuali
setelah mendapatkan mandat dari-Nya.
Nabi Sebagai Mandataris Allah Swt
Kemudian kepemimpinan Allah Swt. yang transenden itu diturunkan ( baca: dibumikan ) melalui para NabiNya. Mereka diangkat oleh Allah Swt. untuk memimpin umat manusia dan menegakkan keadilan. Mereka diberi oleh Allah Swt. otoritas untuk menentukan hukum dan undang-undang, dan mereka juga harus ditaati. Pengangkatan para nabi sebagai pemimpin semata-mata karena kehendak Allah, tanpa campur tangan kehendak selain-Nya, atau dengan kata lain, pengangkatan mereka tanpa musyawarah dengan siapapun.
Nabi Sebagai Mandataris Allah Swt
Kemudian kepemimpinan Allah Swt. yang transenden itu diturunkan ( baca: dibumikan ) melalui para NabiNya. Mereka diangkat oleh Allah Swt. untuk memimpin umat manusia dan menegakkan keadilan. Mereka diberi oleh Allah Swt. otoritas untuk menentukan hukum dan undang-undang, dan mereka juga harus ditaati. Pengangkatan para nabi sebagai pemimpin semata-mata karena kehendak Allah, tanpa campur tangan kehendak selain-Nya, atau dengan kata lain, pengangkatan mereka tanpa musyawarah dengan siapapun.
Allah
memandang ketaatan kepada Nabi sama dengan ketaatan kepada-Nya dan
melanggar perintah Nabi berarti melanggar perintah-Nya. Berikut ini
ayat-ayat yang menegaskan kewajiban mentaati Nabi Saww :
"Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya" (QS. Ali Imran, 3 : 32); "Dan tidaklah Kami utus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah " (QS. An-Nisa', 4 : 64); "Apa yang dibawakan oleh Rasul maka ambillah dan apa yang dilarang olehnya maka hentikanlah " (QS. Al-Hasyr, 59 : 7). "Tidaklah pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah urusan, untuk memilih (keputusan yang lain) dari urusan-urusan mereka " (QS. Al-Ahzab, 33 : 36) dan ayat-ayat lainnya.
"Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya" (QS. Ali Imran, 3 : 32); "Dan tidaklah Kami utus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah " (QS. An-Nisa', 4 : 64); "Apa yang dibawakan oleh Rasul maka ambillah dan apa yang dilarang olehnya maka hentikanlah " (QS. Al-Hasyr, 59 : 7). "Tidaklah pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah urusan, untuk memilih (keputusan yang lain) dari urusan-urusan mereka " (QS. Al-Ahzab, 33 : 36) dan ayat-ayat lainnya.
Dalam
bukunya, Imamat wa Rahbary, dengan sangat menarik Syahid Murtadha
Muthahhari ra. menjelaskan tentang tugas-tugas Nabi Saww. sebagai
mandataris Allah Swt. Pertama, Nabi bertugas menyampaikan hukum dan
undang-undang Allah Swt. sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur'an surat
al Hasyr ayat 7. Kedua, Nabi bertugas sebagai pemberi keputusan (qadhi
atau hakim). Maksudnya ketika terjadi suatu masalah di tengah kaum
Muslimin, maka beliau yang mempunyai otoritas untuk memutuskannya. Allah
Swt. berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga
mereka menjadikan kamu sebagai hakim atas persengketaan yang terjadi di
antara mereka dan mereka pun tidak merasa keberatan atas apa yang telah
kamu putuskan serta mereka menyerahkannya (kepada kamu) " (QS. An-Nisa',
4 : 65). Ketiga, Nabi sebagai pemimpin dan penguasa masyarakat Muslim
(QS. An-Nisa', 4 : 59) (Imamat wa Rahbari 47- 48).
Dengan
keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam sistem kepemimpinan
Islami, pemimpin tertinggi adalah Allah Swt. Sedangkan Nabi Saww.
merupakan seorang yang dipercayai oleh Allah Swt. untuk memimpin umat
manusia sehingga dengan demikian Nabi adalah pemimpin dan penguasa kedua
setelah Allah Swt. Sehubungan dengan ini, Imam Khomeini ra. berkata,
"Pemerintahan dalam Islam berarti mengikuti undang-undang Islam.
Sedangkan kekuasaan yang ada pada Nabi dan para pemimpin setelahnya
merupakan kepanjangan dari Allah Swt., karena Allah Swt. telah
memerintahkan untuk mengikuti Nabi dan para pemimpin setelahnya. Maka
tidak ada tempat bagi pendapat dan kemauan individu. Semuanya mengikuti
undang-undang Allah Swt " (Al-Hukumah Al-Islamiyyah 43).
Kepemimpinan Islam Pasca Rasulullah Saww.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada keterangan yang lalu bahwa dalam pandangan Islam, kekuasaan dan kepemimpinan secara mutlak berada di tangan Allah Swt., sebagai Pencipta dan Pemelihara jagat raya, dan segala sesuatu selain-Nya harus tunduk kepada-Nya, kemudian Ia memberikan mandat kepada Rasulullah Saww. sebagai kepercayaan-Nya, maka siapakah gerangan yang akan menjadi kepercayaan Allah setelah Rasulullah Saww. ?
Kepemimpinan Islam Pasca Rasulullah Saww.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada keterangan yang lalu bahwa dalam pandangan Islam, kekuasaan dan kepemimpinan secara mutlak berada di tangan Allah Swt., sebagai Pencipta dan Pemelihara jagat raya, dan segala sesuatu selain-Nya harus tunduk kepada-Nya, kemudian Ia memberikan mandat kepada Rasulullah Saww. sebagai kepercayaan-Nya, maka siapakah gerangan yang akan menjadi kepercayaan Allah setelah Rasulullah Saww. ?
Mengingat bahwa Islam sebagai agama untuk semua generasi dari umat
manusia sampai hari kiamat, maka kepemimpinan Islami tidak terhenti
dengan wafatnya Rasulullah Saww. Kepemimpinan Islami terus terbentang
dan berlaku selagi manusia masih ada di atas permukaan bumi ini. Nah,
sehubungan dengan ini, maka masalah khilafah digulirkan dan dibicarakan
bahkan menjadi isu yang paling hangat sejak wafatnya Rasulullah Saww
sampai saat ini.
Siapakah
yang menjadi khalifah (pemimpin kaum muslimin pasca Rasulullah) ? Dan
bagaimanakah proses pengangkatan khilafah Islamiyyah ? Sudah tidak
menjadi rahasia lagi, bahwa terdapat dua pandangan yang kontradiktif
tentang masalah khilafaturrasul. Sebagian kaum muslimin berpendapat
bahwa pengangkatan khalifah diserahkan kepada umat Islam (baca :
masyarakat Islam) dengan mengadakan voting atau syura', sementara
sebagian yang lain berpendapat bahwa pengangkatan khalifah adalah hak
Allah bukan hak manusia.
Dalam
bukunya, Makrifatullah, dengan sangat arif Ayatullah Makarim Syirazi
menjelaskan duduk permasalahan khilafah. Menurutnya, sebenarnya
perselisihan tidak akan muncul kalau kedua kubu itu mempunyai pemahaman
yang sama tentang arti khalifah. Perselisihan timbul disebabkan kedua
golongan tersebut memberikan makna yang berbeda tentang khalifah.
Menurut
golongan pertama, khalifah bertugas sebagai pemimpin negara dan urusan
dunia saja. Oleh karena itu, seorang khalifah tidak diharuskan seorang
yang paling baik, paling takwa dan paling memahami urusan-urusan agama.
Persyaratan menjadi khalifah cukup dengan kemampuannya memimpin
pemerintahan (kafa'ah). Atas dasar makna ini, pengangkatan seorang
khalifah cukup dengan syura' atau menurut suara yang terbanyak, tidak
harus ada intervensi dari
syariat.
Sedangkan
golongan kedua berpendapat bahwa jabatan khalifah sama dengan jabatan
Rasulullah kecuali menerima wahyu. Oleh karena itu seorang khalifah
mesti orang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami agama
Islam, dan tentunya mempunyai kafa'ah juga. Maka yang mengetahui manusia
seperti itu tidak lain adalah Allah Swt. Sebagaimana Nabi diangkat oleh
Allah Swt. demikian pula khalifah diangkat oleh-Nya melalui Rasul-Nya.
Jadi kesepakatan akan terjadi antara dua golongan itu, jika mereka
bersepakat dalam memaknai kata khalifah, (Lihat kitab Makrifatullah hal.
227-229).
Begitu
pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam, sehingga dalam berbagai
kitab hadis dikutip sebuah hadis, yang cukup populer dengan redaksi yang
berbeda namun maksudnya sama, dari Rasulullah Saww. yang berbunyi,
"Barangsiapa mati sementara dia tidak mengenal imam zamannya, maka dia
akan mati seperti matinya orang-orang
jahiliyyah."
Hadis
ini dengan jelas menekankan pentingnya masalah kepemimpinan sehingga
seorang muslim yang tidak mengenal imam yang ada pada zamannya, akan
mati seperti orang-orang jahiliyyah. Sedemikian pentingnya masalah
kepemimpinan dalam Islam, maka mungkinkah Rasulullah Saww.
mengabaikankannya tanpa memberikan penjelasan kepada umat Islam tentang
proses pengangkatannya dan kriteria-kriteria seorang pemimpin setelah
beliau wafat ?.
Sebagian
mufasir mengatakan bahwa ayat yang berbunyi "Wahai Rasul,
sampaikankanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika
tidak kamu lakukan maka kamu tidak menyampaikan risalahNya " ( QS.
Al-Maidah, 5 : 67) merupakan perintah dari Allah agar Rasulullah
menyampaikan wasiat terakhir tentang kepemimpinan (Lihat tafsir Al-Mizan
dan tafsir Majma' al Bayan berkenaan dengan ayat di atas). Juga ayat
yang berbunyi, "Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul dan Ulil amri dari kalian" (QS. An-Nisa', 4 : 59)
merupakan perintah dari Allah untuk menaati para pemimpin setelah
Rasulullah Saww.
Kalau kita merujuk ke literatur-literatur hadis, maka akan kita dapatkan sejumlah riwayat dari Rasulullah Saww. tentang masalah khalifah atau pemimpin, diantaranya, "Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau selama kalian dipimpin oleh dua belas khalifah. Semuanya dari Quraisy " (Shahih Muslim jilid 6 halaman 4); "Islam akan senantiasa mulia sampai dengan dua belas khalifah " (Shahih Bukhari jilid 8 halaman 105 dan 128) dan riwayat-riwayat lainnya yang tidak perlu kami sebutkan semuanya. Dengan demikian, masalah kepemimpinan pasca-Rasulullah Saww. telah selesai dibicarakan, yaitu ke-khilafahan. []
Kalau kita merujuk ke literatur-literatur hadis, maka akan kita dapatkan sejumlah riwayat dari Rasulullah Saww. tentang masalah khalifah atau pemimpin, diantaranya, "Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau selama kalian dipimpin oleh dua belas khalifah. Semuanya dari Quraisy " (Shahih Muslim jilid 6 halaman 4); "Islam akan senantiasa mulia sampai dengan dua belas khalifah " (Shahih Bukhari jilid 8 halaman 105 dan 128) dan riwayat-riwayat lainnya yang tidak perlu kami sebutkan semuanya. Dengan demikian, masalah kepemimpinan pasca-Rasulullah Saww. telah selesai dibicarakan, yaitu ke-khilafahan. []
1."Hasan dan Husain adalah para pemuka kaum muda di Surga."
2. "Husain adalah dari aku dan aku dari Husain, Allah bersahabat kepada mereka yang bersahabat dengan Husain, dan memusuhi mereka yang memusuhinya."
3. "Barangsiapa ingin melihat seseorang yang hidup di bumi tetapi kemuliaannya dihormati oleh para penghuni surga, lihatlah kepada cucuku Husain."
4. "Wahai putraku, dagingmu adalah dagingku, dan darahmu adalah darahku : Engkau adalah seorang pemimpin spiritual, putra seorang pemimpin spiritual dan saudara pemimpin spiritual. Engkau adalah Imam yang berasal dari Rasul, putra Imam yang berasal dari Rasul, dan saudara dari Imam yang berasal dari Rasul. Engkau adalah ayah dari 9 Imam, yang ke 9 dari mereka adalah Al-Qaim (pemimpin spiritual terakhir yang ma'shum)."
5. "Hukuman di neraka yang diberikan kepada pembunuh Husain, adalah sama dengan setengah dari total hukuman yang diberikan terhadap seluruh manusia yang berdosa di dunia."
6. Ketika Nabi memberitahu Fathimah tentang kesyahidan yang akan terjadi atas Husain, tiba-tiba Fathimah menangis tersedu-sedu dan bertanya, "Wahai ayahku, kapan anakku akan syahid ? Pada suatu saat yang sangat kritis, jawab Nabi suci, ketika aku atau engkau ataupun Ali sudah tiada." Hal ini semakin menekan kesedihannya, dan dia bertanya lagi, "Wahai ayahku, lalu siapa yang akan memperingati kesyahidan Husain ?" Nabi Suci berkata, "Para lelaki dan wanita dari para pengikutku, yang akan menjadi sahabat Ahlul Baitku, akan berkabung untuk Husain dan memperingati kesyahidannya tiap tahun dalam setiap abad." []
Dikutip dari 14 Manusia Suci, Pustaka Hidayah, Bandung
Kepada Ali bin Syu'aib
Wahai Ali, orang yang paling baik penghidupannya adalah orang yang penghasilannya membaikkan kehidupan orang lain dan orang yang paling jelek penghidupannya adalah orang yang penghasilannya tidak menghidupi orang lain.
Wahai Ali, berbuat baiklah kepada binatang ternak karena sesungguhnya mereka (bagaikan) binatang liar. Tidaklah pergi jauh suatu kaum melainkan kembali kepada mereka.
Wahai Ali, sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah orang yang menahan pertolongannya, menghabiskan hidupnya sendirian dan memukul pembantunya. Berbaik sangkalah kepada Allah karena sesungguhnya orang yang baik sangkanya kepada Allah maka Allah sesuai dengan prasangkanya. Barang siapa yang rela dengan rezeki yang sedikit maka akan diterima amalannya yang sedikit. Barang siapa yang rela dengan yang sedikit dari yang halal maka akan diringankan pertolongannya dan itu merupakan kenikmatan bagi pemiliknya, Allah akan memperlihatkan baginya penyakit dunia dan penawarnya serta mengeluarkannya dari dunia dengan selamat menuju rumah kebahagiaan (surga). Tiada ketenangan bagi orang kikir, tiada kelezatan bagi pendengki, tiada kecukupan bagi orang gelisah dan tiada kejantanan bagi pendusta.
Kepada Abdul Azhim Al-Hasani
Sampaikan dariku salam kepada para wakilku, katakan kepada mereka: jangan jadikan dirimu jalan bagi setan, temui mereka (umat) dengan perkataan yang benar, tunaikan amanat, tinggalkan mereka dengan diam, tinggalkan perdebatan pada hal-hal yang tidak menjaga mereka, pertemukan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, saling berkunjunglah karena sesungguhnya hal itu mendekatkan kepadaku dan tidak menyibukkan mereka dengan mencela satu yang lainnya. Dan sesungguhnya aku bersumpah dengan diriku, barang siapa yang melakukan hal itu (saling mencela) atau membenci seorang dari wakil-wakilku, aku berdoa agar Allah menyiksanya di dunia dengan azab yang keras dan di akhirat termasuk ke dalam orang-orang yang merugi. []
[Diterjemahkan dari Kitab Aimmatuna oleh Indra Yuniar, S.S.]
Imam Musa bin Ja'far a.s. berkata :
"Ada tiga orang yang dinaungi oleh Arasy Allah pada hari kiamat, saat tiada naungan-Nya : Laki-laki yang mengawinkan saudaranya yang Muslim ; Yang mengabdi padanya, dan Yang menjaga rahasianya."
[Wasail Al-Syi'ah, XIV, h. 27]
"Ada tiga orang yang dinaungi oleh Arasy Allah pada hari kiamat, saat tiada naungan-Nya : Laki-laki yang mengawinkan saudaranya yang Muslim ; Yang mengabdi padanya, dan Yang menjaga rahasianya."
[Wasail Al-Syi'ah, XIV, h. 27]
"Barang siapa menahan diri dari perkawinan karena takut akan kemiskinan,
maka sesungguhnya ia telah berprasangka buruk kepada Allah."
[M.H.H. al-Amili, al-Wasa'il al-Syi'ah, jilid 14, h. 24]
[M.H.H. al-Amili, al-Wasa'il al-Syi'ah, jilid 14, h. 24]
Seorang laki-laki bernama
Dzi'lib Al-Yamani bertanya : "Dapatkah Anda melihat Tuhanmu, wahai Amir
Al-Mukminin ?" Jawab Imam Ali r.a. : "Akankah aku menyembah sesuatu
yang tidak kulihat ?!" "Bagaimana Anda melihat-Nya ?" tanya orang itu
lagi. Maka beliau pun memberikan penjelasannya :
Dia (Allah) takkan tercapai oleh penglihatan mata, tetapi oleh mata-hati yang penuh dengan hakikat keimanan. Ia dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak. Berbicara tanpa harus berpikir sebelumnya. Berkehendak tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tapi tidak tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha Penyayang tapi tidak bersifat lunak.
Wajah-wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetar karena ketakutan terhadap-Nya. []
[Dikutip dari : Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, Bandung]
Dia (Allah) takkan tercapai oleh penglihatan mata, tetapi oleh mata-hati yang penuh dengan hakikat keimanan. Ia dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak. Berbicara tanpa harus berpikir sebelumnya. Berkehendak tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tapi tidak tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha Penyayang tapi tidak bersifat lunak.
Wajah-wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetar karena ketakutan terhadap-Nya. []
[Dikutip dari : Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, Bandung]
Pada suatu hari, Bahlul
mendatangi suatu masjid. Tiba-tiba dia mendengar seorang laki-laki
menyombongkan dirinya di hadapan orang banyak di dalam masjid. Orang itu
mengatakan bahwa dia adalah seorang alim yang menguasai berbagai cabang
ilmu. Di antara perkataannya kepada orang-orang itu adalah,
"Sesungguhnya Ja'far bin Muhammad (ash-Shadiq) berbicara dalam beberapa
masalah yang tidak menarik bagiku. Di antaranya :
Dia (Ja'far) berkata, 'Sesungguhnya Allah maujud (ada), tetapi Dia tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di akhirat.' Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak dapat dilihat ? Sungguh, ini betul-betul suatu hal yang bertentangan.
Dia berkata, 'Sesungguhnya setan disiksa di dalam api neraka, padahal, kata orang itu, setan diciptakan dari api. Maka, bagaimana mungkin sesuatu disiksa dengan apa yang ia diciptakan darinya ?
Dia juga berkata, 'Sesungguhnya perbuatan-perbuatan seorang hamba dinisbatkan kepada dirinya sendiri,' padahal ayat-ayat Alquran menunjukkan secara jelas bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu (termasuk perbuatan).
Ketika Bahlul mendengar perkataan orang itu, dia segera mengambil tongkatnya dan memukulkannya ke kepala orang itu sehingga melukainya. Darah pun mengalir ke wajah dan jenggotnya.
Maka, orang itu menghadap Harun ar-Rasyid dan mengadukan perbuatan Bahlul tersebut terhadapnya.
Ketika Bahlul dihadirkan ke hadapan Harun dan ditanyai mengapa dia memukul orang itu, dia berkata kepada Harun, "Sesungguhnya orang ini menyalahkan Ja'far bin Muhammad a.s. dalam tiga masalah."
Pertama, dia mengatakan bahwa segala perbuatan seorang hamba sesungguhnya Allahlah pelakunya. Maka, luka yang dialami orang ini semata-mata perbuatan Allah. Lalu, apa salahku ?
Kedua, dia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada pasti dapat dilihat, maka jika rasa sakit ada pada kepalanya, kenapa ia tidak terlihat ?
Ketiga, sesungguhnya dia diciptakan dari tanah dan tongkat ini juga berasal dari tanah, sedangkan dia mengatakan bahwa suatu jenis tidak akan disiksa dengan jenis yang sama. Jika memang demikian halnya, lalu mengapa dia merasakan sakit dari pukulan tongkat ini ?
Harun ar-Rasyid merasa kagum dengan perkataan Bahlul. Maka, dia melepaskan Bahlul dari hukuman karena memukul orang itu. []
[Dikutip dari Sayyid Muhammad Asy-Syirazi, 99 Kisah Hikmah Pilihan, Pustaka Hidayah, Bandung]
Dia (Ja'far) berkata, 'Sesungguhnya Allah maujud (ada), tetapi Dia tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di akhirat.' Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak dapat dilihat ? Sungguh, ini betul-betul suatu hal yang bertentangan.
Dia berkata, 'Sesungguhnya setan disiksa di dalam api neraka, padahal, kata orang itu, setan diciptakan dari api. Maka, bagaimana mungkin sesuatu disiksa dengan apa yang ia diciptakan darinya ?
Dia juga berkata, 'Sesungguhnya perbuatan-perbuatan seorang hamba dinisbatkan kepada dirinya sendiri,' padahal ayat-ayat Alquran menunjukkan secara jelas bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu (termasuk perbuatan).
Ketika Bahlul mendengar perkataan orang itu, dia segera mengambil tongkatnya dan memukulkannya ke kepala orang itu sehingga melukainya. Darah pun mengalir ke wajah dan jenggotnya.
Maka, orang itu menghadap Harun ar-Rasyid dan mengadukan perbuatan Bahlul tersebut terhadapnya.
Ketika Bahlul dihadirkan ke hadapan Harun dan ditanyai mengapa dia memukul orang itu, dia berkata kepada Harun, "Sesungguhnya orang ini menyalahkan Ja'far bin Muhammad a.s. dalam tiga masalah."
Pertama, dia mengatakan bahwa segala perbuatan seorang hamba sesungguhnya Allahlah pelakunya. Maka, luka yang dialami orang ini semata-mata perbuatan Allah. Lalu, apa salahku ?
Kedua, dia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada pasti dapat dilihat, maka jika rasa sakit ada pada kepalanya, kenapa ia tidak terlihat ?
Ketiga, sesungguhnya dia diciptakan dari tanah dan tongkat ini juga berasal dari tanah, sedangkan dia mengatakan bahwa suatu jenis tidak akan disiksa dengan jenis yang sama. Jika memang demikian halnya, lalu mengapa dia merasakan sakit dari pukulan tongkat ini ?
Harun ar-Rasyid merasa kagum dengan perkataan Bahlul. Maka, dia melepaskan Bahlul dari hukuman karena memukul orang itu. []
[Dikutip dari Sayyid Muhammad Asy-Syirazi, 99 Kisah Hikmah Pilihan, Pustaka Hidayah, Bandung]
Pengertian qodho hanya berlaku bagi shalat-shalat harian (5 waktu). Sedang untuk shalat wajib lainnya, seperti shalat Jum'at, Ied (hari raya, baik ghodir, fitri dan adhha), Ayat dan sebagainya, tidak ada kewajiban untuk meng-qodhonya saat tertinggalkan, kecuali untuk gerhana matahari dan gerhana bulan yang total, walaupun diharuskan untuk melakukannya di luar waktu (qodho gerhana yang total), saat melakukannya tidak diharuskan dengan niat qodho, cukup dengan niat melakukan shalat.
Kewajiban qodho ini dibebankan pada setiap orang, baik dengan sengaja dia meninggalkan shalat atau tidak, dia mengerti hukum keharusannya atau tidak, dalam keadaan tidur atau terbangun, bepergian atau di rumah, dan lain sebagainya. Sebagaimana bunyi dalil berikut :
Imam Bagir a.s. ditanya tentang seseorang melakukan shalat dalam keadaan hadas (belum bersuci), atau shalat yang terlewatkan olehnya karena lupa atau tertidur dan belum ia lakukan ? Dijawab oleh beliau : "Wajib baginya untuk mengqodho shalat yang tertinggal kapan saja ia mengingatnya, baik malam maupun siang. Tetapi apabila (timbulnya ingatan) masuk pada waktu shalat berikutnya, dan belum menyelesaikan (melakukan) shalat yang tertinggalkan olehnya, maka lakukan shalat qodho asalkan tidak takut akan habisnya pemilik waktu, karena pemilik waktu lebih berhak untuk dilaksanakan terlebih dahulu daripada shalat qodho. Seusai melakukan (shalat) pemilik waktu, lakukanlah shalat yang tertinggal, dilarang melakukan shalat nafilah walaupun satu rakaat, sebelum tanggungan kewajibannya diselesaikan secara keseluruhan. [Al-Wasail, juz 4, hal. 248.]
Kewajiban qodho ditetapkan dan dipikulkan pada pundak mereka yang memiliki kewajiban ada', dan kewajiban qodho jatuh dengan jatuhnya kewajiban ada'. Kurang warasnya akal, anak-anak (mereka yang belum menanggung kewajiban), kekufuran, hilangnya kesadaran diri yang tidak disengaja dan lain sebagainya, atau karena keluarnya darah haid, nifas (sehabis melahirkan), pada semua keadaan tersebut tidak wajib qodho (karena kewajiban ada' terangkat dari mereka), sampai kewajiban ada' terpikulkan kembali ke pundak mereka (dengan pulihnya keadaan).
Tiga perkara yang menyebabkan hilangnya kewajiban qodho :
1. Melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya.
2. Meninggalnya seseorang sebelum masuknya waktu sholat.
3. Kekufuran, kecuali bagi yang murtad kemudian bertaubat kembali.
Ada dua kesimpulan setelah melakukan shalat qodho : *)
Pertama, bagi mereka yang shalatnya (atau kewajiban-kewajiban lain) tertinggal karena lupa (atau karena alasan-alasan lain yang menafikan kewajiban ada') tidak dianggap berdosa setelah mereka mengqodho' kewajiban-kewajiban tadi, karena saat mereka lupa kewajiban ditangguhkan sampai mereka ingat atau dengan hilangnya alasan-alasan tadi.
Kedua, bagi mereka yang meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut secara sengaja, tetap mendapat dosa walaupun mereka telah ganti dengan mengqodhonya, karena mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka.
*) Harus tertib saat mengqodho shalat yang tertinggal secara berurutan dan tidak terlewatkan sampai hari berikutnya. Contohnya : Jika yang tertinggal adalah shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, kemudian ingat setelah masuknya waktu Isya, atau yang tertinggal hanya shalat Dhuhur dan Ashar, dan ingatnya setelah masuk waktu Maghrib, atau yang tertinggal adalah shalat yang jenisnya sama (tiga kali shalat Subuh saja misalnya) di hari yang berbeda-beda, maka shalat Subuh walaupun qodho lebih didahulukan dari pada shalat Dhuhur yang ada', karena keberadaan shalat Subuh lebih dahulu dari pada shalat Dhuhur, walaupun harinya telah lewat. []
[Dikutip dan diringkas dari buku " Shalat Dalam Mazhab Ahlul Bait", Hidayatullah Husein al Habsyi.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar